Tradisi Megebeg-Gebegan

Wednesday, 09 December 2020

Tradisi unik ini berhubungan dengan ritual keagamaan Hindu yang digelar sekali dalam setahun di catus pata agung (perempatan) Desa Pekraman Dharma Jati, Tukad Mungga, Buleleng. Yang mana pada saat tradisi tersebut digelar para Sekee Teruna (pemuda desa) akan memperebutkan kepala godel (kepala anak sapi) yang merupakan sarana utama saat menggelar upacara persembahan (sesajian) saat ritual mecaru yang bertepatan saat hari Pengrupukan (sehari sebelum Hari Raya Nyepi). Anak sapi tersebut dikuliti menyisakan kulit kali dan kepala godel sebagai sarana upacara yang dikenal sebagai “bayang-bayang” dan sebagai simbolis bhuta kala yang akan diperebutkan oleh pemuda desa. Pulau Bali memang memiliki banyak budaya dan tradisi unik, bahkan tidak semua orang tahu.

Penggunaan godel (anak sapi) pada pecaruan dan Tradisi Megebeg-gebegan di Buleleng ini sebenarnya memiliki sejarah mendalam yang membuat penduduk Desa mewajibkan tradisi tersebut untuk di gelar tiap tahunnya. Konon dulu, salah satu desa yang ada di Buleleng bernama desa Dharma Jati tertimpa masalah serius yang membuat warga sangat resah. keresahan warga timbul, karena masalah dengan kondisi ekonomi dan kesehatan warga disana mulai tak terjamin, mereka takut kondisi yang dialami desa itu semakin parah.

Ada sejumlah kejadian yang membuat warga resah, seperti kejadian ketika tukad Mungga yang awalnya airnya tenang, tetapi tiba-tiba air sungai tersebut naik ke atas permukaan hingga menyentuh daratan. Hal tersebut membuat warga takut, mereka takut air sungai tersebut naik hingga mengganggu pemukiman yang berada di dekat sungai Mungga. Selain itu juga banyak hama atau merana seperti wereng dan tikus yang menyerang tanaman padi yang dimiliki warga setempat. Dengan demikian membuat petani gagal panen. Kejadian tersebut membuat warga menjadi bingung, bagaimana cara mengatasi masalah yang menimpa desanya. Merekapun mencoba untuk menanyakannya kepada sesepuh atau tetua yang ada di desa tersebut. Setelah mereka menceritakan masalah yang menimpa Desa Dharma Jati, Sesepuh tersebut pun mencari petunjuk agar masalah air sungai meluap dan tanaman padi yang terserang hama segera dapat dihentikan. Akhirnya para sesepuh mendapatkan pewisik atau petunjuk dalam mengatasi permasalahan tersebut.

Dalam petunjuk atau pawisik yang didapat bahwa di Desa tersebut harus dilaksanakan pecaruan yang jatuh pada sasih Kesanga dengan mengunakan godel (anak sapi) yang dijadikan simbol bhuta kala. Penduduk desa sangat berharap agar apa yang sesepuh perintahkan kepada mereka dapat membuat keadaan desa kembali seperti semula. Mereka pun mencoba untuk pertama kalinya menggelar pecaruan menggunakan godel (anak sapi) pada saat sehari sebelum nyepi yang jatuh pada hari raya Pengerupukan, di lanjutkan dengan memperebutkan kepala anak sapi tersebut oleh warga desa, lalu setelah itu lambat laun kondisi Desa Dharma Jati semakin membaik.

Maka sampai saat ini, pada saat melaksanakan pecaruan di catus pata, nantinya setelah ritual tersebut selesai akan dilanjutkan dengan menggelar tradisi Megebeg-gebegan, para pemuda desa sangat antusias untuk mengikutinya, seperti tidak sabar ingin segera melangsungkan tradisi ini dengan semangat. Mereka sangat menikmati tradisi Megebeg-gebegan tersebut, tidak ada sanksi bagi mereka yang tidak ikut. Bagi para pengayah atau peserta yang sedang melangsungkan tradisi ini sangat dilarang jika memiliki perasaan dendam pribadi terhadap sesama pengayah, seperti ada dendam pribadi yang dimanfaatkan saat tradisi tersebut digelar. Dengan Megebeg-gebegan diharapkan bisa lebih mempersatukan masyarakat desa dan mereka bisa saling mengenal. Tradisi Megebeg-gebegan tersebut tidak hanya diikuti oleh sekee teruna tetapi juga oleh para orang tua. Mereka yang mendapatkan dan berhasil membawa kepala anak sapi (bayang-bayang) tersebut, berhak membawa pulang ke rumah mereka yang nantinya bisa disantap bersama dengan keluarga. Oleh para seniman tradisi Megebeg-gebegan tersebut juga sempat dipentaskan saat Pesta Kesenian Bali di Taman Budaya Art Center Denpasar, pementasan tersebut dikemas dalam drama pendek yang dituangkan dalam sebuah cerita yang sanggup memukau penonton.

Sumber :balitoursclubnet.com



Penulis

Alda